Tuesday, December 29, 2015

Jangan Sampai Guru Dipaksa Siswa untuk Membaca

Tidak semua orang suka membaca. Demikian juga guru, tidak semua guru suka membaca. Bahkan perlu diteliiti kapasitas membaca guru ataupun apakah guru membaca diluar buku pelajaran yang diampunya. Menarik untuk ditelaah lebih lanjut.

Di Vietnam, ada Mr Thack yang meruakan penggiat literasi dengan setiap kelas dibuka perpustakaan kelasnya. Jika lima tahun yang lalu rata-rata membaca siswa 0,4 per tahun artinya tidak ada satu bukupun yang dibaca oleh siswa. Tingkat membaca ini diluar buku pelajaran. setelah Mr Thack menggelorakan semangat untuk berliterasi, rata-rata membaca siswa Vietnam meningkat tajam yaitu 20-30 buku per tahun. Mereka terus meningkatkan target mereka di tahun mendatang dengan rata-rata 50 buku pertahun.

Suatu kemajuan yang luar biasa yang dilakukan oleh Mr Thack. Vietnam yang baru merdeka dalam hitungan jari bisa mencapai rata-rata membaca sedmikian tinggi. Mr Thack sangat percaya dengan keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan akan didapat dengan membaca bukan dengan menonton atau mendengarkan. Dengan keyakinan tersebut, meski dia berkampanye di daerah miskin, sebanyak 400 sekolah dikalikan sejumlah kelas telah mempunyai perpustakaan kelas dengan pelibatan orang tua di dalamnya. Mulai tahun lalu, sistem ini ditiru dan diterapkan di sekolah-sekolah modern dan hanya orang-orang kaya yang bersekolah disana.

Bagaimana di Indonesia? Kemampuan membaca siswa sangat kurang. Saat survey dilakukan dari 250 siswa yang meminjam buku, hanya 5 siswa saja yang meminjam buku. Ini baru disurvey peminjaman buku. Saat ditanya berapa siswa yang  membaca 1 buku per tahun, ada 35 siswa yang menampilkan tangannya. Saat ditanya yang membaca buku 3-5 buku per tahun, ada 14 siswa yang tunjuk jari. Dan survey pun terus menurun saat ditanyakan 6-10 buku per tahun. 

Apa yang harus kita lakukan sebagai guru pendidik siswa-siswa pelanjut negara Indonesia? Apakah kita akan diam saja? Apakah kita perlu bergerak? Tentu saja baanyak pilihan yang bisa diambil dengan segala resikonya. Kita diam tentu saja siswa juga diam. Kita pendidik bergerak, siswa akan bergerak. Pendidik membaca, tentu siswa pun akan membaca juga. Apalagi guru membaca, pasti siswa pun akan lebih dalam menulis.

Gerakan berliterasi perlu dimulai. Dengan semangat dan serius dalam membiasakan budaya membaca dan menulis. bukan hanya slogan '15 menit membaca' tetapi dengan tindakan nyata. Dan itu bisa kita mulai dari kita sebagai pendidik. Dimulai sekarang dan terus berlanjut hingga terbentuk budaya berliterasi yaitu membaca dan menulis. Terus dan berlanjut untuk Indonesia berkarya.
Jangan sampai guru sebagai pendidik dipaksa membaca oleh siswa. kita paksa diri kita untuk berliterasi karena kita guru pendidik.


Sunday, December 27, 2015

Ketika Rasa Membaca itu Hadir



Rasanya dulu saat saya kecil, beranjak menjadi remaja dan dewasa, saya tidak suka membaca. Yang saya lakukan ketika harus membaca yaitu saat saya diminta guru membaca buku pegangan siswa saat ulangan atau saat kuis.  Jika tidak, ada yang memaksa saya tidak membaca. Sungguh saya tidak bisa berpura-pura jika memang saya tidak suka membaca. Tapi ada beberapa hal yang mungkin dapat menjadi pengalaman baik yang dapat dipetik dari pengalaman saya yang memungkinkan rasa membaca itu hadir sampai sekarang.


Saya masih ingat saat saya balita dahulu, saya dan adik serta kakak saya berebutan jika tukang koran mengantar majalah anak 'Ananda'. Majalah ini sangat terkenal saat itu. kami berebutan ingin membaca paling dulu, kamipun suka membaca bersama-sama. Bahkan kakak saya sering membacakan disaat saya dan adik saya belum bisa membaca. Kebiasaan ini terus terjadi sampai saat kakak saya merelakan kesempatannya untuk berebutan lagi dengan adik-adiknya karena telah melanjutkan studinya di sekolah menengah pertama. Sepertinya majalah anak anak itu tidak cocok lagi untuk dia dan juga mungkin sudah disibukkan dengan pelajaran yang lebih sulit. Saya pun telah berkurang rivalnya, tinggallah saya dan adik saya untuk berebutan majalah itu. Orang tua pun terus memberikan kesempatan kepada kami untuk terus berlangganan majalah kesayangan kami itu.


Beranjaklah kami dewasa, dan kesibukan membuat kami tidak berebut kembali dengan majalah anak-anak. bersibuk diri dengan pelajaran sekolah, pr, tugas dan ulangan yang tiada hentinya membuat kami terlupa untuk membaca. Kami disiapkan untuk mengerjakan tes dan tes.


Kebiasaan itu berlanjut pada saat menempuh jalur SMA, kuliah di strata 1. Membaca materi karena terpaksa. Demikian juga pada saat studi lanjut strata 2 dan strata 3. Masih sama karena terpaksa untuk menyiapkan bahan presentasi dan tugas paper dan paper.


Berakhirlah masa membaca untuk memenuhi tugas tugas. berakhirlah masa itu. saatnya sekarang harus berubah. Membaca karena saya perlu membaca. Membaca karena saya harus mencari tahu dan memenuhi keingintahuan. Ketika rasa membaca sudah tumbuh, maka apapun yang menghalangi pasti terlewati. Dan saya bisa melewati proses dari keterpaksaan menjadi keinginan untuk terus membaca dan membaca.




Berbagi itu Indah



Berbagi itu indah. Topik saya pagi menjelang siang hari ini. Sungguh saya terinspirasi dengan dua siswa saya yang hari ini datang ke sekolah dengan semangat tinggi untuk belajar dan saling berbagi pengetahuan. Semangat saya langsung menggelegar saat mengetahui tujuan mereka datang ke perpustakaan dengan niat yang hebat.


Salah satu siswa saya yang namanya Harits. Anak ini dari kelas 1 SMA memang sudah luar biasa dan sudah menetapkan pilihannya untuk menjadi dokter. Dia tekun belajar, menorehkan satu demi satu prestasinya. Saya secara pribadi banyak belajar dari anak yang luar biasa ini. Bukan hanya kepandaiannya, tetapi juga ketekunan dalam belajar dan beribadah. Satu hal lagi, meski pandai, tekun dan hebat, anak ini sangat sopan kepada gurunya. Satu poin yang sekarang jarang ditemui pada anak muda yang pandai.


Kembali ke topik bahwa berbagi itu indah. Harits akhirnya sudah diterima melalui jalur undangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yang sangat mengharukan, hari ini Harits mengajarkan kepada saya bahwa berbagi itu indah. harits mengajarkan hal-hal yang temannya belum begitu paham. Sangat luar biasa bukan?


Jika satu anak pandai bisa membantu teman lainnya, bukan tidak mungkin bahwa akan makin banyak anak yang pandai. Anak yang paham makna berbagi. Anak anak didik yang paham makna bahwa dengan berbagi itu tidak ada yang berkurang tetapi malah bertambah. Dan inilah karakter yang kita bangun bahwa bangsa ini akan besar jika memiliki karakter berbagi dengan sesama.


Demikian juga dengan pendidik atau guru. Bagi guru yang memiliki pengalaman lebih, sangat dimungkinkan untuk berbagi dengan guru yang lain. Dapat melalui offline yaitu seminar, workshop atau forum diskusi. Demikian juga dapat melalui online yaitu melalui media sosial, skype, atau webinar. 
Perlu keyakinan dan diyakinkan bahwa dengan berbagi itu kita bertambah ilmu, bertambah pengetahuan, bertambah pengalaman dan bertambah saudara. Ini yang terkadang kita lupa bahwa dengan berbagi kita semakin kaya.


Mengapa demikian? Mari kita kupas satu persatu. Suatu saat kita akan diminta untuk memberikan pengalaman kita, maka mau tidak mau kita harus mengingat apa-apa saja yang bisa kita bagi. Ini artinya bahwa kita mendapat ilmu untuk mengingat dan menyampaikan kepada orang banyak. Lanjut, dengan berbagi, maka kita mendapat pengalaman yaitu pengalaman berpidato atau berkata-kata di depan orang banyak. Lanjut lagi, bertambah saudara karena kita akan bertemu dengan orang-orang baru yang mungkin saja terinspirasi dan mendapat manfaat dari penjelasan kita. Benar, bahwa dengan berbagi kita semakin kaya.


Berbagilah dan rasakan kenikmatannya.








Friday, July 31, 2015

Mengenali 'Medan Perang'

Tidak mudah bagi siswa untuk belajar. Meski sudah bertahun tahun, tetap saja mereka mengalami kesulitan. Terutama bagi siswa Indonesia. Selain kurikulumnya yang sering berubah, pelajaran yang belasan meberikan beban yang tidak ringan bagi para siswa.

Di saat awal tahun ajaran, guru sebaiknya memberikan arahan yang jelas, memberikan gambaran silabus, topik yang akan dipelajari, aturan yang dibuat bersama, dan juga model tes yang akan ditempuh. Dengan demikian mereka mengenali 'medan perang' yang akan mereka jalani.

Mengapa demikian? Dengan mengenali medan, jalan dan yujuan yang ungin dicapai, maka para anak didik akan mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar. Poin- poin yang perlu dipelajari sebagai anak didik sesuai levelnya dan tidak menutup kemungkinan untukdapat memenuhi target belajar di akhir tahun pelajaran.

Sebagai contoh, siswa kelas 12, disaat masuk sudah diberikan lembar ujian UN tahun sebelumnya. Guru sebagai fasilitator dapat memberikan gambaran singkat tentang UN. Mereka membaca soal UN tahun-tahun sebelumnya. Mereka menganalisa model pertanyaan apa yang ada di dalam soal tersebut.

Selanjutnya, guru akan melanjutkan ke topik pelajaran untuk mempersiapkan Ujian nasional dengan lebih mudah. Para siswa akan lebih sadar, mau kemana, mau apa, dan bagaimana mendapatkan nilai optimal di ujian nasional nantinya.

Mengetahui 'medan perang' tidak hanya bermanfaat bagi siswa. Guru pun akan mendapatkan manfaat yaitu lebih mudah mengarahkan siswa, memiliki rambu-rambu menuju prestasi yang lebih baik, dan tidak kalah penting adalah guru lebih peduli dengan apa yang harus dipelajari pleh siswanya.

Dengan demikian, diharapkan akan tercapai tujuan pendidikan yaitu mengoptimalisasi potensi yang ada pada anak didik dan mengembangkannya sehingga para siswa didik dapat lebih optimal dalam berprestasi.

Tetap semangat belajar belajar dan berbagi.

Saturday, July 25, 2015

Harta yang Berharga itu Bernama Manusia Muda

Jika saya ditanya, harta apa yang paling berharga? Pertama saya akan bingung. Yang kedua saya akan mencoba mencari jawaban yang paling benar diantara jawaban yang benar. Pilihannya adalah pasti terkait dengan harta yaitu sesuatu yang kita miliki seperti rumah, uang, kebun, perhiasan dan yang berujung dengan kepemilikan harta benda kita.

Mungkin jawaban itu benar, jika kita mengacu pada jaman saat manusia mulai berburu, mengumpulkan barang buruannya, kemudian dikumpulkan dan suatu saat ditukarkan dengan barang yang lain. Mungkin juga benar jika kita hidup di jaman pertanian dimana harta yang paling berharga adalah alat-alat pertanian yang membantu kita bertani. Atau akan menjadi benar juga jika kita hidup di jaman industri dimana alat-alat dan konsep konsep baru bermunculan.

Nah, sekarang kita sudah berada di zaman pekerja pengetahuan dimana manusia menjadi harta yang paling berharga. Pengetahuan yang dimiliki manusia di jaman ini dapat menghasilkan 100 ribu bahkan jutaan kali lipat daripada jaman berburu, jaman pertanian dan industri. 

Jaman inilah para guru harus mulai secara benar membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan yang dibutuhkan generasi ini untuk 10-20 tahun kedepan. Dengan guru yang fokus dalam mendidik, berpengetahuan dan memiliki 'passion' serta kreatifitas dalam mendongkrak potensi yang dimiliki oleh anak anak didik kita.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi atau harta terpendam yang dimiliki anak didik kita? Kuncinya adalah jangan melihat anak didik kita seperti barang yang bisa dipindahkan kemana kita mau. Menjaga anak didik (barang) dengan kontrol yang ketat, tidak diberikan ruang diskusi dan tidak diberikan ruang berkreasi.

Saatnya para pendidik mengubah cara pandangnya melihat anak didik ini dari sudut pandang yang berbeda. Mereka harta yang berharga untuk masa depan  keberlangsungan suatu bangsa. Kita sebagai pendidik dapat memberikan ruang berkreasi bagi para penerus bangsa ini dengan tidak melepas begitu saja kebebasan ini. 

Dalam proses pembelajaran di kelas, kita sebagai pendidik memberikan wacana masalah atau project dengan diberikan keleluasan bagi  para anak didik untuk berimaginasi, mengumpulkan fakta, dan berdikusi untuk penyelesaian dari masalah yang diberikan.

Meskipun terlihat mudah untuk dilakukan, tetapi bagi guru perlu mempersiapkan dengan pengetahuan untuk membantu proses keberhasilan belajar para siswa ini. Kunci awal untuk menjaga harta yang paling berharga adalah guru yang memiliki waktu untuk membaca dan belajar demi keberhasilan siswa didiknya di masa depan.

Friday, July 24, 2015

Mereka Generasi Berbeda


Generasi saya berbeda dengan generasi anak didik saya. Jika dulu saya mengetik masih menggunakan Mc Dos untuk memulai, maka anak didik kita tinggal menghunakan gadget nya untuk mengetik. Jika dulu saya memakai buku tulis untuk mencatat, anak didik kita tinggal memotret dengan gadgetnya. Jika saya dulu harus datang ke museum untuk mencari tahu tentang sesuatu yang berhubungan dengan sejarah, anak didik kita tinggal mencari di website yang tersebar di dunia maya.

Inilah perubahan generasi yang mau tidak mau harus dihadapi. Guru tidak bisa tutup mata atas perubahan yang terjadi. Jika pisau dapat digunakan untuk alat bantu memotong sayuran, maka pisaupun juga bisa menjadi alat yang mengerikan yang dapat menusuk orang. Demikian juga dengan gadget dan alat alat bantu teknologi. Gadget atau alat alat teknologi bisa sangat bermanfaat dalam proses pembelajaran. Tetapi juga akan sangat bahaya jika tidak dimanfaatkan dengan benar dan baik.

Jalan terbaik untuk mencegah kengerian yang terjadi pada generasi selanjutnya adalah guru perlu belajar sedikit tentang pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Sedikit saja tidak perlu banyak banyak. Yang perlu banyak belajar adalah anak didik kita. Yang terpenting adalah bagaimana cara menggunakan teknologi tersebut dan bagaimana menggunakannya dalam mata pelajaran kita. Tentunya juga disesuaikan dengan kurikulum dan silabus yang telah ditentukan.

Generasi anak didik kita berbeda dengan generasi gurunya. Generasi anak didik kita penting mengenal teknologi. Karena kehidupan 10-15 tahun mendatang akan berbeda saat kita mengajar  di sekolah saat ini. Tugas gurulah untuk membuka wacana atas pemanfaatan teknologi dalam proses pendidikan. Mereka akan hidup di situasi dan kondisi yang berbeda. 

Mengapa guru yang perlu membuka pengetahuan tentang pemanfaatan teknologi? Karena jelas guru yang mempunyai akses untuk belajar lebih daripada siswanya. Karena guru yang mengetahui arah kemana proses pembelajaran itu akan dibawa. Karena guru perlu tahu siswa akan menjadi apa jika belajar sesuatu yang baru. Dan karena guru memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan anak didiknya menjadi seorang yang bermanfaat bagi masyarakat di masa depannya.

Maka, karena generasi anak didik kita berbeda dengan generasi kita para gurunya, para guru perlu belajar pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Mari kita tularkan virus semangat belajar kepada anak didik kita.

Tuesday, July 21, 2015

Menjadikan Anak Didik yang Mandiri




Mengajar itu mudah. Semua orang dengan berbagai profesi bisa mengajar. Tetapi untuk mendidik sedikit berbeda dengan mengajar. Mendidik ini bisa berbagai cara yaitu memberikan contoh, memberikan ruang untuk berkembang, memberikan kail bagi anak didik untuk dapat mengoptimalisasi diri menjadi seseorang yang lebih baik.

Kemandirian ini sekarang menjadi hal yang krusial bagi pembangunan negeri ini. Ini tidak terlepas dari budaya masyarakat kita dan budaya nenek moyang kita bahwa anak dari kecil tidak diupayakan untuk belajar kemandirian. Mungkin bisa kita lihat di mall mall, para ibu ibu mengajak jalan putra putrinya disertai para asisten rumah tangga. Bahkan terkadang lebih dari satu asisten untuk setiap anak. Ditambah lagi dengan sistem sekolah kita yang masih dengan model ' menyuapi' materi. Siswa mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru.

Pola ini bukannya tidak baik, hendaknya ini dilakukan tidak terlalu sering karena akan membuat anak didik menjadi tergantung dan manja kepada gurunya. Menjadikan guru pusat ilmu pengetahuan sudah bukan zamannya lagi. Ilmu tersebar dan sangat mudah didapatkan dari website website yang telah tersedia 24 jam non stop. Tetapi, perlu kita ingat apakah hanya pengetahuan yang kita cari?

Guru adalah tempat dimana anak bertanya, berbagi cerita serta mencari kebijaksanaan. Terkadang mereka juga hanya ingin bertegur sapa dengan gurunya. Tetapi juga banyak yang mencurahkan kesedihannya kepada gurunya karena orang tuanya tidak mempunyai waktu untuknya. Disinilah peran guru menjadi sangat kompleks sehingga terkadang tidak dipungkiri, gurunya lebih tahu dan paham daripada orang tuanya sendiri. Menjadikan anak didik mandiri bisa dilakukan dengan berbagai cara. Yaitu dengan membuat kelompok kecil dalam mengerjakan tugas atau proyek. Mereka dapat berdiskusi untuk mencari solusi. Mereka dapat bekerjasama dalam tim dan tentunya dapat memperoleh jawaban yang lebih optimal.

Meski tugas dikerjakan bersama, nilai atau kualitas anak didik bisa berbeda. Maka tugas pendidik adalah mengamati proses saat pembelajaran itu berlangsung. Pendidik memberi catatan tentang apa yang diperoleh anak didik baik sebelum, ketika dan akhir kegiatan belajar berlangsung.

Semoga bermanfaat
Nur Arifah Drajati